ISEKABAR.ID, Sangatta - Gelar maha yang diberikan kepada siswa yang telah sukses menyelesaikan 12 tahun masa pendidikannya di sekolah dan memperoleh kesempatan untuk mengasah dirinya lagi di perguruan tinggi, bukanlah diberikan tanpa alasan. Mahasiswa dikenalkan oleh Tri Dharma Perguruan Tinggi yang diperkuat dengan tuntutan bahwa dalam level ini, mahasiswa adalah agen perubahan. Mahasiswa harus vokal menyuarakan pendapatnya, mahasiswa harus cermat menganalisis data yang disajikan kepadanya, mahasiswa harus adaptif terhadap situasi dunia dan Indonesianya, atau semua "Mahasiswa harus bisa" lainnya.
Semua mahasiswa memiliki tuntutan "mahasiswa harus bisa" itu. Tak kurang pula mahasiswa STAI Sangatta. Bagaimanapun juga, STAI Sangatta sebagai lembaga pendidikan tinggi, ikut menjunjung Tri Dharma Perguruan tinggi itu. Sekolah Tinggi yang berfokus pada ilmu humaniora dengan jurusan Tarbiyah dan Syariah itu, memiliki tuntutan khusus yang unik dalam sistem pembelajarannya. Sebagai jurusan yang banyak berhubungan dengan kehidupan sosial manusia, intisari dalam pembelajaran mahasiswa STAI Sangatta tak luput dari latihan debat yang muncul dari banyak presentasi dan diskusi.
Akan tetapi, permasalahan terjadi di dalam penguasaan ini seiring dengan keterbukaan tak terkendali oleh mahasiswa terhadap pemanfaatan AI (Artificial intelligence).
Penggunaan AI memang menjadi sangat populer tahun-tahun belakangan. Terobosan AI boom yang hadir sejak tahun 1980-an menjadi mudah terjangkau khalayak luas pada tahun 2020 ketika OpenAI meluncurkan model pemrosesan bahasa tercanggih saat itu, GPT-3. Model ini diterima dengan mudah mengingat kemampuannya membuat bahasa teks yang mirip dengan manusia. Sejak saat itu, penggunaan AI menjadi tak terelakkan, terutama dengan adanya pembaruan dan peningkatan dari model sejenis.
Saat ini, AI menjadi terlalu dekat. Terlalu dekat sampai mencekik. Terlalu rapat dan ramah kepada mahasiswa yang belum siap secara prinsip dan kepercayaan diri. Ai begitu mudah digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah, menggantikan para pemikirnya yang sudah jarang diasah oleh buku-buku bermanfaat. Ai telah memanjakan mahasiswa dan melumpuhkannya. Hal ini tercermin dari malasnya mahasiswa mengusahakan karya tulis dan penelitiannya dalam bentuk pemikiran sendiri. Mahasiswa lebih suka bercinta dengan AI dan menghasilkan anak berupa jurnal dan karya tulis berbahasa AI yang secara tak langsung, menodai Tri Dharma Perguruan tinggi poin penelitian yang bermanfaat. Apakah menjadi bermanfaat ketika bahkan mahasiswa yang membuatnya sendiri tidak mengerti intisari dari karyanya sendiri?
Lebih menakjubkannya lagi, penulis merasakan keruntuhan "maha" dalam mahasiswa pada proses pembelajaran di dalam kelas. Diskusi yang seharusnya berjalan mengalir dan memantik perdebatan yang melatih critical thinking dan proses komunikasi secara keseluruhan, ternodai oleh oknum mahasiswa yang tak punya pendirian bahwa kepalanya memiliki otak yang bisa diasah dan diandalkan.
Sungguh terhina diskusi pagi itu ketika pemateri yang sudahlah mendapatkan materinya dari AI, memperoleh pertanyaan AI pula dari penanya. Diskusi kotor yang merusak artistik humaniora itu berlangsung dalam bahasa pemrograman. Bertumbuh dalam kata-kata kaku yang akurat namun tak bernyawa. Selesai memberikan jawaban, tak akan ada umpan balik dari sang penanya, karena jawaban akurat itu tak pernah merasuk bagian otaknya yang ingin tahu. Hanya memenuhi kepuasan bahwa dosen akan mengapresiasi penanya dengan nilai lebih. Pemateri dan penerima materi mendapatkan ilmu dan informasi kosong. Tak lebih. Hanya gembira karena moderator akan segera menutup presentasi dan mereka akan segera pulang untuk lanjut melakukan aktivitasnya masing-masing.
Hal joroknya lagi, ketika seorang penanya bertanya dengan pertanyaan yang merupakan buah dari pemikirannya sendiri, dijawab dengan jawaban robotik hasil dari ketikan kilatnya pada sebujur model pemrosesan bahasa. Tindakan yang mematikan. Karena jawaban kaku itu akan mematahkan suasana dialog yang ingin dibentuk. Tak ada diskusi, tak ada debat, tak ada dialog argumentatif. Hanya selembar absensi yang memperkuat hanya segaris saja fakta, bahwa manusia-manusia yang hadir di ruangan itu adalah seorang mahasiswa.
Mau sampai kapan hal ini akan terus berlanjut?
Ai seharusnya bekerja sebagaimana mesin lain bekerja. Untuk meringankan beban pekerjaan manusia. Tiada hak dan tempat bagi AI untuk mengambil alih bagian kreatif dari manusia. Tiada boleh diberikan izin bagi AI untuk menggantikan proses berpikir kritis dari manusia itu sendiri.